Agustus 05, 2007

sebuah lintasan pemikiran tentang militansi.

Bila dakwah ibarat pohon, ada saja daun-daunnya yang berjatuhan.

Tapi pohon dakwah itu tak pernah kehabisan cara

untuk menumbuhkan tunas-tunas barunya.

Sementara daun-daun yang berguguran tak lebih

hanya akan menjadi sampah sejarah.


Dalam sebuah tulisannya, Ust. Rahmat Abdullah pernah mengaitkan militansi dengan jiddiyah, kesungguhan. Bagaimana seseorang memilki kerelaan untuk bekerja keras, untuk menderita, demi sesuatu yang diyakininya sebagai kebenaran. Manusia yang memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang berharganya cincin berlian, mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi anjing yang ada di dekat cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi cincin berlian. Ia baru akan berlari mengejar tulang, lalu mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya.

Apabila kita memandang sesuatu benda bernilai sangat berharga, maka kita akan rela berkorban dan berusaha dengan penuh kesungguhan (jiddiyah) untuk mendapatkan, menjaga, dan mempertahankan benda tersebut. Sebaliknya, bila kita memandang benda tersebut tidak cukup berharga untuk kita perjuangkan, maka jangan harap bahwa kita akan tergerak untuk berkorban dan berjuang dengan penuh kesungguhan.

Hingga pada akhirnya militansi dalam dakwah memang berpulang pada bagaimana persepsi sang da’i terhadap dakwah. Tergantung seberapa pentingnya dakwah tersebut bagi sang da’i, dan seberapa pantasnya dakwah untuk diperjuangkan dengan penuh kesungguhan. Akan ada saat ketika komitmen seorang da’i dibenturkan dengan berbagai kesulitan dan masalah, dan itulah saat untuk mengetahui kualitas militansinya.

Kesadaran akan Beban dan Amanah Dakwah

Dalam banyak kegiatan dakwah, dalam banyak organisasi dakwah, ketika kita melakukan evaluasi atas kegiatan dan organisasi kita itu, ada suatu masalah klasik yang nyaris selalu ada dalam setiap hasil evaluasi kita, yaitu masalah sumber daya da’i. Namun “masalah” ini jangan-jangan bukan sebuah masalah, tapi justru merupakan fithrah dari dakwah ini sendiri. Bukan bermaksud untuk mencari pembenaran atas kekurangan pada kerja-kerja dakwah, tapi untuk mempertegas bahwa dalam sejarah perjalanan dakwah, jumlah rijal yang menyeru kepada kebaikan dan kebenaran selalu jauh lebih sedikit dari orang-orang yang perlu dan harus “diselamatkan”, selalu lebih sedikit dari yang dibutuhkan, sehingga bebannya pun lebih berat dari kebanyakan orang. Keadaan ini kerap kali menghadapkan kita pada posisi tidak punya pilihan, atau harus menetapkan pilihan yang serba sulit. Begitu banyak amanah yang harus diemban, sementara sumber daya manusia begitu terbatas, baik jumlahnya yang tidak mencukupi, ataupun kualitasnya yang tidak merata. Dalam konteks ini, pengertian amanah yang overload pada seorang da’i menjadi dipertanyakan. Bukankah da’wah itu memang berat? Bukankah sudah menjadi kepastian bahwa seorang da’i bebannya lebih besar dari kebanyakan orang? Sehingga sudah tidak pada tempatnya lagi kalau seorang da’i masih mengharapkan waktu senggang dan kesenangan-kesenangan seperti orang-orang lain yang tidak mengemban amanah dakwah.

Kesenangan dan hiburan bagi da’i hanyalah untuk memulihkan stamina agar dapat terus berderap di jalan yang panjang. Dan kebersamaan para da’i adalah hiburan dan kesenangan bagi mereka. Kebersamaan dalam menanggung beban, tertawa bersama dan menangis bersama adalah bagian dari kebahagiaan dalam jalan dakwah.

Militansi seorang da’i akan mendorongnya untuk sensitif dan responsif terhadap permasalahan dakwah. Ia akan merasakan bahwa permasalahan dakwah adalah juga masalah pribadinya, karena ia sangat menyadari bahwa setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Allah azza wa jalla akan meminta pertanggungjawaban dari setiap pribadi atas semua yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Amanah-amanah yang merupakan bagian dari proyek dakwah dan beban jama’ah, ketika tidak dilaksanakan dengan baik atau terabaikan, akan menjadi tanggung jawab dari tiap individu da’I sebagai bagian dari jama’ah.

Ketika bani Israil diperintahkan untuk tidak mencari ikan di hari Sabtu, sebagian dari mereka mencoba mengakali perintah ini dengan memasang perangkap ikan di hari Jum’at dan mengambil hasil tangkapannya pada hari Ahad. Sebagian yang lain, yang tetap menaati perintah Allah, memberikan taushiyah kepada saudara-saudaranya yang melanggar. Tapi peringatan mereka diremehkan dan bahkan dikatakan bahwa pelanggaran itu bukanlah urusan mereka. Dan para da’i, orang-orang yang memberikan peringatan ini, mengatakan bahwa mereka memberikan taushiyah itu agar mereka punya hujjah, punya bukti di hadapan Allah bahwa mereka telah melakukan sesuatu, mereka telah berbuat semampu yang mereka bisa untuk beramar ma’ruf nahi munkar, walaupun hasilnya - untuk sementara - tidaklah seperti yang diharapkan.

Kisah tersebut mengajarkan bahwa kewajiban berdakwah tidaklah gugur hanya karena mad’u kita menolak dakwah ini. Tidak pula gugur karena saudara-saudara kita meninggalkan dakwah, melalaikan amanah-amanahnya dan meninggalkan kita berjuang sendirian. Karena masalah dakwah adalah masalah pertanggungjawaban kita seorang diri di hadapan Allah. Sehingga kita punya hujjah dihadapan Allah, bahwa kita telah melakukan yang terbaik yang kita bisa, dan biarkanlah Allah, para rasul dan orang-orang yang beriman yang menilai kerja keras kita

Tidak ada komentar: